Seandainya anak-anak kita takut menghadapi kegagalan, niscaya mereka tidak akan pernah bisa berjalan hingga kini. Sebab sekedar untuk berjalan saja, banyak kesulitan yang harus mereka hadapi dan tidak sedikit rasa sakit yang harus mereka tanggung.
Hidung mungkin sudah lebih dari sepuluh kali tersungkur ke tanah hanya karena mereka belajar merangkak. Lutut entah berapa kali mengalami luka. Tetapi anak-anak tidak pernah putus asa. Anak-anak senantiasa tetap bersemangat, sampai orang tua yang memadamkannya dengan alasan kasih sayang. Apakah anda kenal dengan orang tua yang seperti ini?
Banyak sekali orang tua bertanya “Mengapa anak saya pemalu? Mengapa anak saya penakut?” dan sebutan lainnya untuk memperjelas maksud yang sebenarnya adalah masalah rasa percaya diri.
Apakah ini menjadi sebuah masalah? Tentu iya. Karena banyak sekali pertanyaan untuk mendapatkan solusi atas masalah ini. Anda pasti khawatir akan perkembangan kehidupan sosial anak anda di masa depan.
Selain itu, anak-anak juga akan selalu tergantung kepada orang tuanya. Anak-anak pemalu cenderung membatasi pengalaman mereka, tidak mengambil risiko sosial yang diperlukan dan hasilnya mereka tidak akan memperoleh kepercayaan diri dalam berbagai situasi sosial.
Apakah ada kasus serupa? Banyak! Salah satu fenomena ini dapat menjadi ilustrasi nyata dalam kehidupan yang berkembang saat ini, ada banyak alasan orang tua memanjakan anak.
Di kota besar sudah menjadi alasan klasik apabila orang tua kasihan dengan anak yang ditinggal sendirian di rumah hanya dengan pembantu. Maka semua fasilitas pun disediakan.
Sementara itu ada orang tua yang tergoda memanjakan anak karena trauma dengan masa lalunya yang sulit dan pahit. Hidup dalam kemiskinan orang tua yang menyakitkan. Setelah dirinya menjadi “orang” alias kaya, mereka ingin anaknya senang dan fasilitas diberikan secara berlebihan.
Akhirnya harga diri anak pun relatif rendah dan rasa percaya diri mereka tidak murni berasal dari dalam diri mereka sendiri, tetapi bergantung pada “alat” yang mereka miliki seperti handphone, mobil, perhiasan dan lain-lain. Sebab harga diri dan rasa percaya diri mereka dibangun atas apa yang mereka miliki (secara lahiriah) bukan karakter dan nilai hidup yang sehat.
Akibat dimanjakan, daya tahan stres mereka pun tidak terbangun dengan baik. Tantangan dan kesulitan menjadi barang mewah bagi anak yang dimanjakan ini. Hingga masa remaja mereka tidak cakap membedakan mana itu keinginan (wants) dan kebutuhan (needs).
Di beberapa pusat rehabilitasi dan depresi, disana banyak ditemukan remaja yang besar dengan cara dimanjakan. Mereka tidak cakap mengelola konflik saat berada di bangku SMP dan SMU, sehingga mereka mulai menghadapi berbagai kesulitan yang tidak jumpai ketika berada di rumah.
Disiplin muncul bersama kendali diri, itu artinya seseorang harus mengendalikan semua kualitas negatif dalam dirinya. Hal yang menyiksa hidup anak kita sesungguhnya bukanlah kesusahan tetapi justru kesenangan berlebih.
Anak yang terbiasa dengan kesenangan, sering merasa tidak pernah puas dengan kesenangan. Sedangkan anak yang terbiasa hidup dengan disiplin dan kesulitan justru lebih tahan banting terhadap kesusahan. Karena secara tidak langsung mereka belajar percaya bahwa diri mereka sendiri yang mampu menciptakan keberhasilan mereka.
Nah dari beberapa penjabaran ini semoga kita diberi hikmat, kasih dan kebijaksanaan dalam mengasuh anak-anak. Terhindar dari perilaku yang bisa menjadi “penyiksa” anak-anak dengan memanjakan mereka secara berlebihan dan bukannya memupuk sesuatu yang lebih permanen bagi kesuksesan mereka kelak.
Penyebab rasa percaya diri rendah sangatlah beraneka ragam. Bisa jadi berasal dari masa kanak-kanak yang kurang menyenangkan atau dari pengalaman pahit yang diperoleh dalam pergaulan.
Dapat juga berasal dari sikap orang tua yang kurang bijaksana dalam mendidik atau mungkin juga karena keadaan tubuh atau fisiknya, misalnya terlalu pendek, terlalu gemuk dan sebagainya.
Berikut ciri anak yang memiliki rasa percaya diri rendah:
- Anak takut berinteraksi dengan lingkungan sosial
- Anak enggan untuk berangkat ke sekolah dan tempat-tempat keramaian
- Anak tidak mau berkenalan dengan teman sebaya atau orang lain, cenderung menghindari kontak mata dengan orang lain, menarik diri, cemas ketika berhadapan dengan orang lain
- Anak selalu menempel pada orang tua atau pengasuhnya, tidak mau ditinggal di sekolah
- Rendahnya kepercayaan diri anak, memiliki konsep negatif takut tidak diterima di lingkungan
Ada 2 isu penting yang menjadi penyebab mengapa anak mengalami gangguan percaya diri:
1. Pola Asuh Yang Salah
Pola asuh yang salah dapat menyebabkan perkembangan kemandirian sosial anak terhambat, misalnya orang tua dengan pengasuhan otoriter. Cara mendidik yang salah, berdasar pada ancaman, kekerasan dan pemukulan setiap kali anak berbuat kesalahan. Misalnya ketika anak bermain sesuatu sering disalahkan, dipukul, diancam, dicela dan direndahkan atau pengasuhan yang over protektif.
Kepercayaan diri anak sangat berhubungan dengan perlakuan orang tua kepada anak ketika pada masa-masa sebelum anak bersekolah. Dengan kata lain apa yang kita berikan kepada anak-anak pada usia dibawah misalnya 5 atau 6 tahun akan sangat mempengaruhi kepercayaan dirinya sewaktu dia nanti memasuki sekolah.
Perlakuan orang tua yang penuh kehangatan itu adalah suatu modal yang akan memberi anak kekuatan untuk melangkah keluar dari lingkup rumahnya dan memasuki tempat yang asing baginya.
Semakin seorang anak kuat berakar karena tahu dirinya dicintai dan diterima apa adanya di rumahnya sendiri, mereka seolah-olah akan mendapatkan lebih banyak energi untuk melangkah keluar menghadapi tantangan dan tuntutan dari luar.
Kebalikannya, ketika anak yang mengalami banyak ketegangan dan perlakuan orang tua yang bersifat kritis, memarahinya atau hidup dimana orang tua mempunyai hubungan pernikahan yang tidak baik, maka anak justru tidak mempunyai kekuatan. Mereka justru akan merasa lemah dan akhirnya waktu harus melangkah keluar, bukannya makin berani tetapi justru merasa takut.
2. Trauma
Hal yang menjadi penyebab trauma bisa berasal dari pengalaman atau hal-hal yang tidak menyenangkan di masa lalu, misalnya saat anak mengerjakan soal dan kemudian jawabannya salah, respon orang tuanya adalah marah dan membentaknya.
Atau saat salah mengerjakan soal di sekolah anak disuruh berdiri dipojok kelas sehingga malu, hal ini dapat menyebabkan anak takut untuk menjawab pertanyaan karena trauma.
Hal-hal seperti ini bisa saja terjadi bukan hanya dalam kegiatan belajar tetapi juga dalam lingkungan sosialnya, seperti diejek dan ditertawakan teman, perlakuan kasar dari teman dan lain-lain.
Selain itu, sering menakut-nakuti anak saat menasehati mereka, misalnya dengan mengatakan “Jangan masuk ke dalam ruangan itu, disana ada banyak kecoak.” Mungkin sang anak akan langsung menuruti apa yang kita katakan. Namun mungkin kita tidak pernah memikirkan efek negatifnya.
Hal-hal yang bersifat “menakut-nakuti” tersebut ternyata bisa menjadi salah satu penyebab anak tidak percaya diri. Bila kita mengalami kasus di atas, alangkah baiknya apabila kita tidak menggunakan kata-kata yang bersifat menakut-nakuti, misalnya “Main disini saja ya, disini kan tempatnya lebih luas dan terang.”
Intinya adalah hindari kata-kata yang membuat anak takut atau ketakutan, karena secara tidak sadar hal ini akan menghambat anak di masa depannya. Karena proses penumbuhan kepercayaan diri tidak melulu pada diri anak.
Untuk membuat anak-anak percaya diri, orang tua harus percaya diri terlebih dahulu. Orang tua harus menjadi role model yang sehat bagi anak-anaknya. Meningkatkan rasa percaya diri pada anak tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Bisa jadi karena metode yang digunakan oleh orang tua kurang sesuai, maka rasa percaya diri anak justru semakin pudar. Peran orang tua dalam usaha meningkatkan rasa percaya diri pada anak sangat diharapkan.
Rasa percaya diri pada anak akan berguna sepanjang hidupnya. Itulah hal yang dapat menguatkan motivasi seorang anak untuk tetap survive dalam kondisi yang berat. Ketika problematika sosial semakin kompleks maka rasa percaya diri juga akan semakin memegang perannya yang penting. Komitmen dalam menuntaskan masalah ini perlu kontribusi dari orang tua secara langsung.
Semoga bermanfaat.
Ingin tahu tipe kepribadian anda? Yuk coba tes kepribadian ini GRATIS!
Baca : 6 Cara Mendisiplinkan Anak